Alkisah Paiman baru pulang ke Jogja dari Jakarta setelah lima tahun bekerja disana. Walaupun dia hanya bekerja sebagai supir Bajaj, namun dia sangat bangga akan "Kejakartaannya". Di desanya di Bantul dia yang dulunya selalu memakai bahasa Jawa Krama (Jawa Halus) kini tak pernah mau lagi menggunakannya. Dia selalu memakai bahasa "gue elo". Dia bangga dengan bahasa tersebut dan malu pada bahasa Jawa, bahasa ibu ketika ia dibesarkan.
Ketika itu upacara adat Rabupungkasan (Perayaan hari Rabu terakhir dalam kalender Jawa) sedang diadakan di daerah Jejeran, Wonokromo, Bantul. Bersama ketiga temannya sewaktu kecil ia pergi untuk melihat arak2an lemper raksasa pada perayaan tersebut.
Setelah selesai melihat arak2an lemper raksasa Paiman pun mentraktir ketiga temannya tersebut. Di sebuah warung bakso di lapangan tempat pasar malam diadakan mereka duduk2 bercanda sambil menikmati bakso.
Dalam obrolan santai mereka, tak pernah sekalipun Paiman menggunakan bahasa Jawa. Ia selalu menggunakan bahasa "gue elo", dan ia cenderung bicara dengan keras seakan ingin menunjukkan bahwa dia adalah orang kota, orang yang modern, tidak seperti orang2 disekitarnya yang kuno dan ndeso.
Akhirnya mereka berempat selesai makan. Paiman pun kemudian menuju sang pemilik warung dan hendak membayar bakso. "Bakso dan es teh 4, kalo pasar malem gini baksonya paling 4 ribuan, es tehnya seribuan, berarti 20 ribuan nih", hitung Paiman dalam hati.
Paiman pun segera menyerahkan uang 50 ribuan kepada sang pemilik. Kemudian dengan lagak orang kota yang dibuat2 Paiman menunggu kembalian.
"Maaf pak, ini uangnya kurang", kata sang pemilik warung.
"Kurang?", tanya Paiman kaget. "Kurang begaimana? Baksonya 4 ribuan, es nya seribuah, 50 rebu cukup tuh".
"Oh, nggak bang, disini baksonya 10 ribu, es tehnya 5 ribu", jawab sang pemilik dengan tenang, "jadi semuanya 60 ribu pak".
Paiman kaget mencret. Busyet!! Ia baru saja kethuthuk. Dengan terbata-bata kemudian logat dan bahasa Jawa Kramanya kembali mampir ke dalam diri Paiman. Ia berharap si pemilik warung dapat membatalkan thuthukannya bila ia tahu kalau dirinya adalah sesama orang Jawa. Tapi telat, sang pemilik sudah menuthuk dan Paiman tidak bisa menghindar. Dan semenjak itu Paiman selalu kembali menggunakan bahasa dan logat Jawanya tiap kali ia pulang kampung.
Read More...
Summary only...