Kisruh, Antri, dan Pengalaman
Tiap tahun banyak orang kaya dan pejabat membagi2 zakat entah dalam bentuk uang atau pun sembako. Emang bagus, tapi yan menyedihkan adalah kenapa masih saja selalu ada korban yang jatuh gara2 rebutan zakat? Emangnya pada pembagi zakat tidak pernah belajar dari pengalaman dan tidak belajar teori antrean dan menerapkannya?
Teori antrean bukan hanya sekedar menyuruh para penerima zakat untuk mengantri, karena jika hanya demikian sepertinya tidak akan di dengar oleh warga yang sangat ingin bantuan tersebut. Antrean harus menganut system tertentu. Sudah ada yang mencoba menggunakan nomor, tapi tidak bisa jalan juga. Kalo dari pengamatan ane hal tersebut terjadi karena tidak adanya infrastruktur untuk memaksa warga untuk mengantre. Coba selain memberi nomor, di lapangan juga disediakan/dipasang pembatas yang hanya memuat satu orang saja seperti sistem yang ada di bank. Selain itu tempat pembagian zakat (atau “loket”) juga harus dibagi menjadi beberapa bagian, jangan hanya satu atau dua tempat. Misalnya target penerima zakat adalah 5000 orang, maka minimal harus ada 10 tempat pembagian. Sukur2 bisa 50 tempat, dengan demikian satu “loket” hanya melayani 100 orang saja sehingga lebih mudah diatur. Selain itu untuk mengganti sistem nomor juga bisa dilakukan sistem “pemilu”, maksudnya orang yang sudah menerima zakat harus mencelupkan jempolnya ke tinta biar tidak menerima zakat dobel. Mungkin terdegar repot, tapi kalo udah niat membantu yang tidak mampu ane kira bukan masalah dari pada melihat pembagian zakat justru menjadi petaka. Dapet zakatnya 20rb, tapi buat ke dokter 50rb, lho, kan rugi 30rb, ya nggak?
No comments:
Post a Comment