Dua Belas
Kau tahu, sampai umur 14 tahun kadang-kadang anusku terasa sakit. Penasaran selalu hinggap padaku waktu itu. Ada apa denganku? Apakah aku pernah mengalami kecelakaan? Atau ...???
Yah, beberapa waktu yang lalu aku mengetahuinya. Alasan kenapa anusku kadang-kadang terasa sakit. Dan itulah awal keadaanku yang sekarang ini.
Waktu itu - entah kapan, mungkin sehari yang lalu, mungkin juga sepekan yang lalu atau bahkan sebulan yang lalu, entahlah, peduli amat - aku kelupaan membawa tugas praktek kimia yang sangat penting. Tanpa tugas itu mungkin nilai rapor kimiaku akan merah lagi. Karena itu aku pulang untuk mengambilnya pada waktu istirahat pertama. Rumahku dekat, jadi aku nggak perlu takut terlambat masuk.
Namun apa yang aku dapat saat itu sangatlah megejutkanku. Aku melihat ayahku sedang bersama anak kecil, mungkin berumur sekitar 7 tahunan. Sekedar bersama tidaklah masalah, tetapi aku melihat pemandangan yang menjijikkan, ayahku sedang menyodomi bocah itu. Aku hanya tertegun tak tahu harus berkata apa. Berbagai perasaan bercampur saat itu.
Aku pun lari. Lari sekencang dan sejauh mungkin dari dia. Aku benar-benar tidak percaya. Ternyata ayahku suka menyodomi bocah bau kencur.
Siang itu aku terduduk di sebuah taman entah di mana. Perasaan campur aduk masih menyelimutiku.
“Jangan-jangan ... sakitnya anusku gara-gara ayahku. Tapi .. kenapa aku tak ingat apapun???”.
Sebuah bola terlempar mengenaiku dan jatuh diantara kakiku. Aku tersadar dari lamunanku. Di depanku berdiri seorang bocah laki-laki.
“Maaf mas, bolanya ...”
Melihat bocah itu, entah kenapa aku menjadi semakin jijik mengingat apa yang telah dilakukan ayahku pada bocah kecil di rumah, dan mungkin juga padaku. Dadaku semakin berdegup kencang. Darah mengalir deras di kepalaku. Aku pun langsung mendorong bocah itu ketika dia semakin mendekatiku hendak mengambil bolanya. Bocah itu tersungkur dan menangis keras. Aku nggak peduli dan lari dari situ.
Di sebuah jembatan aku duduk merenung. Aku mencoba melupakan apa yang aku lihat pagi itu dan berharap kalau semua ini hanya mimpi.
“Hei kau! Brengsek! Apa yang kau lakukan pada anakku, heh??”, teriak seorang ibu dibelakangku. Sambil menggendong anaknya yang sedang menangis, dia memakiku. Rupanya dia adalah ibu dari anak yang aku dorong tadi.
Kepalaku semakin pusing mendengar makian ibu itu dan tangisan anaknya. Tanpa pikir panjang aku pun lompat dari jembatan itu.
Yah, sepanjang itulah yang aku ingat. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku setelah itu. Yang aku tahu, aku terbangun di rumah sakit ini pagi tadi. Dan setelah hampir setengah hari ini aku mencoba mengingat mengapa aku berada di rumah sakit ini, jawaban yang aku temukan benar-benar membuatku hancur. Mungkin akan lebih baik jika aku mengalama amnesia. Tidak!! Bukan mungkin, tapi pasti lebih baik.
“Mas, turun dari situ ya, kita bicarakan ini baik baik, ok?”, bujuk salah satu orang yang ada di belakangku.
Sudah satu jam ini beberapa orang mencoba membujukku untuk turun dari jendela ruang tempat aku dirawat, kira-kira sejak jam 11 tadi. Bukan apa-apa, masalahnya aku saat ini berada di lantai 12 rumah sakit ini.
“Mas, jangan nekad, dipikir dulu”, bujuk salah satu suster.
“Ha ha ha ....”, aku ketawa dalam hati karena suara suster itu mengingatkanku pada kejadian di jembatan itu.
“Jangan khawatir, kali ini aku sudah berfikir secara rasional kok”, jawabku dengan yakin.
Ya benar, kali ini aku sudah bisa menjernihkan otak di kepalaku ini. Tidak seperti waktu itu dimana aku langsung melompat dari jembatan tanpa pikir panjang. Kali ini, berdasarkan rasioku, aku sangat yakin bahwa tidak ada orang yang akan selamat jika jatuh dari lantai 12 dengan kepala duluan.
No comments:
Post a Comment