Tuesday, March 20, 2007

Social Tolerance – The Absence of Indonesian Spirit

Beberapa waktu lalu terjadi kecelakaan tepat di depan rumah ane. Begitu terdengar suara BRAKKK!!!! Langsung saja warga berbondong-bondong mendatangi TKP. Sebagian warga berusaha menenangkan para korban yang sedang shock atau marah-marah karena motornya penyok. Sebagian lain menolong korban yang terluka, ada pula yang langsung mengambilkan air minum untuk korban biar jadi lebih tenang. Waktu itu semangat gotong royong benar-benar terasa. Rasa kepedulian sosial dan kemanusiaan benar-benar ada disitu. Maklum kami adalah orang desa yang tidak menekankan pada individualisme.

Jauh sebelum terjadi kecelakaan ini terjadi pula kecelakaan di sebuah kota metropolitan. Korbannya adalah seorang artis yang lagi naik berboncengan dengan temannya. Ane bener-bener nggak melihat kejadiannya, ane hanya mengetahuinya melaluiberita-berita yang ada di TV terutama berita infotainment. Yang ironis dari kecelakaan tersebut adalah sikap warga yang berada di TKP yang, sejauh sepengetahuan dan sepemahaman ane, seperti bertolak belakang dari sikap warga saat kecelakaan di depan rumah ane terjadi. Warga disana waktu itu katanya hanya melihat korban saja, tiada yang menolong. Alasannya takut karena darah berceceran. Si korban katanya masih sempat hidup selama 30 menit sebelum dibawa ke rumah sakit dan meninggal dalam perjalanan. Ane bayangkan andai saja waktu itu warga, atau juga pengendara yang lagi lewat situ, langsung menolongnya, mungkin keadaan akan menjadi berbeda.

Apa yang ane lihat pada kejadian kecelakaan di sebuah kota metropolitan tersebut membuat ane bener-bener prihatin. Apakah seperti ini sikap bangsa Indonesia yang katanya ramah tamah dan suka gotong royong itu? Apakah semua warga di kota metropolitan seperti itu? Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan kepekaan sosial ditengah kehidupan kota yang serba individualis??? Entahlah, ane sendiri mungkin akan bingung kalau disuruh menjawab. Paling jawabannya masih bersifat umum dan normatif seperti tingkatkan porsi mata pelajaran budaya dan budi pekerti dalam pendidikan. Tapi cakupan ini mungkin sangat kurang mengingat kepekaan sosial tidak dapat diperoleh dari pelajaran di dalam kelas. Hal ini berarti pelajaran atau kegiatan ekstrakulikuler yang bersifat outdoor juga sangat penting. Dan yang tidak kalah penting adalah pendidikan di dalam keluarga. Tapi pertanyaannya adalah jika pendidikan dalam keluarga itu sangat diperlukan keteladanan sedangkan orang tuanya tidak pernah memberi keteladanan – misalnya dengan bertetangga dengan baik – lalu bagaimana pendidikan dalam keluarga harus diawali?? Semakin di omongin ane semakin bingung, dan jawabannya juga semakin ngaco. Hehehe, ane cabut aja dulu deh. ^^

No comments: